Manox, guru bahasa indonesiaku menyuruh kami, siswa kelas XI IPA 3, mempresentasikan benda, benda apapun itu, yang dirasa berharga. Aku memilih pulpen. Kenapa pulpen, seberapa berharga bagiku? Begini ceritanya,
***
Suasana kelas yang sangat ribut, bahkan mengalahkan tante cerewet bisu di pojokan gedung perwakilan rakyat, langsung berubah sunyi senyap sesepi jalanan ibukota siang hari saat Manox datang.
“Jadi,” Manox mencolok kabel proyekter ke laptop beliau, muka beliau menatap seisi kelas, “siapa yang mau presentasi lebih dulu?”
Tidak ada yang menjawab, kesunyian saat beliau datang tidak berubah sedetik pun, sepertinya malaikat enggan pergi dari kelas kami. Tapi, aku tidak senang dengan suasana hening, cukuplah hening di mengheningkan cipta dan syahdunya malam, “Saya, Bu!” aku mengangkat tangan dengan mantap memecah keheningan. Terdengar helaan nafas dari teman-temanku, tumbal sudah menyerahkan diri, selamatlah hidup, itu pikir mereka.
Manox memandangiku, aku balas menatap beliau, “Silahkan, Kuroko,” kata beliau sambil tersenyum. Beliau bangkit dari kursi dan mengambil tempat di kursi penonton, di barisan para mantan siswa. Saat aku mencolok flashdisk dan ingin membuka file, “apa yang mau kau presentasikan?” tanya Manox yang sudah siap dengan pulpen dengan ujung terbuka, siap meneteskan tinta di note kecil yang jarahnya tidak lebih dari jarak hati kita berdua.
Setelah aku mendapatkan filenya, “Itu,” jawabku sambil menunjuk ke arah Manox.
“Ibu?” tanya beliau tidak percaya.
Aku tersenyum, “Bukan, tapi sesuatu yang ibu pegang.”
“Maksud…”
“Pulpen, Bu,” potongku, saat powerpointku sudah terbuka, sebuah pulpen terpampang nyata di layar, “bisa saya mulai, Bu?”
“Baiklah,” Manox membenarkan posisi tangannya memegang pulpen, “silahkan, mulai.”
Aku memulai presentasiku. Setelah mengucapkan salam dan sedikit perkenalan, “Pulpen adalah barang berharga, bukan cuma bagiku, tapi bagi banyak orang di dunia,” slide berpindah ke gambar siswa dan guru, “terutama bagi kita, siswa dan guru,” kemudian slide berganti lagi ke gambar berbagai kalangan dan profesi, “bahkan hampir tidak ada orang di dunia yang tidak memerlukan pulpen, itulah yang membuat pulpen begitu berharga.”
Dahi penonton, teman-temanku dan Manox, mengernyit ketika sampai pada slide bergambar pulpen dengan tulisan ‘Missing‘ di atasnya disertai permohonan pencarian dan hadiah menggiurkan di bawah, “Karena saking berharganya pulpen, ada orang yang tidak rela kehilangan. Karena, kadang sebuah pulpen punya kenangan yang tidak bisa diganti dengan pulpen lain, pun dengan pulpen yang lebih mahal,” seisi kelas mengangguk. Tiba-tiba lampu mati, alhasil layar pun menjadi hitam.
Aku tetap melanjutkan presentasiku tanpa powerpoint, “Seperti yang saya katakan tadi, kehilangan pulpen bisa menjadi setara dengan kehilangan barang berharga, karena pulpen adalah barang berharga. Bisa kalian bayangkan, saat sedang berbuih-buihnya mulut guru menjelaskan, tetiba pulpen yang dipakai menulis buih hal yang dijelaskan hilang, kalian tidak bisa meminjam, karena yang lain sedang sibuk mencatat. Akhirnya, kalian pasrah dan meminjam catatan teman, dengan konsekuensi tertinggal hal penting, karena daya serap yang berbeda. Ternyata, saat kalian ingin menggaruk kepala karena kutu-kutu di kepala lagi lapar, kalian menemukan pulpen itu di telinga kalian, bagaimana perasaan kalian?” suasana hening, bahkan jangkrik pun tidak bersuara.
Aku tetap melanjutkan presentasiku, sebagai ganti powerpoint aku mengambil spidol, “Kehilangan pulpen bisa terjadi karena beberapa hal,” aku menulis sesuatu di papan tulis,
—
Faktor Penyebab Kehilangan Pulpen :
- Lupa
- Diambil
—
“Untuk ini,” aku menunjuk di kata ‘lupa’, “salah satunya seperti yang kubilang tadi, padahal ditaruh di atas telinga tapi tidak ingat. Selain itu, lupa ini bisa juga saat keluar, kita terburu-buru dan menaruh pulpen sembarang, atau tidak sengaja tersenggol dan jatuh, kemudian kita keluar, saat kembali tiba-tiba saja pulpen kita hilang,”
“Nah, yang ini,” aku membulati kata ‘diambil’, “berhubungan dengan yang pertama. Karena, saat kita lupa dengan pulpen, biasanya kita melupakannya dan membeli baru, atau bagi yang males membeli, akhirnya meminjam atau mencari pulpen. Nah, biasanya mereka mencari dan mengambil pulpen yang tergeletak tidak berdaya di lantai yang disebabkan ini,” aku kembali menunjuk kata ‘lupa’
“Yah, walaupun pulpen kadang kita anggap remeh, tapi, banyak kerugian akibat kehilangannya, mulai dari uang sampai ilmu,” aku melanjutkan presentasiku, “jadi, sayangilah pulpen seperti mereka menodai kertasmu dengan penuh tinta dan kasih sayang,” perkataan itu sekaligus mengakhiri presentasiku.
“Bahkan, pulpen pun bisa merasakan kehilangan,” kataku dalam hati sembari melepas
flashdisk dari laptop Manox dan kembali ke tempat dudukku, “seharusnya aku yang
berterima kasih, ‘P’,”
Leave a Reply