Kali ini email kelima dari si “dia” datang lagi, nih penampakannya :

Dan langsung aja ke isinya


 7 Juli 007
Wah,
email ke-5 nih, artinya udah sebulan lebih. Gak nyangka aku bisa begini,
padahal, kalau boleh jujur, aku sempat iseng juga lo ngirim email ke kamu, eh
ternyata  dibalas, dan saking senengnya,
ternyata beneran keterusan, makasih ya :D. Semoga aja gak bosen saya emailku
xD.
Kemarin
sempat puisi, kali ini cerpen lagi ya 🙂
“Widih… bagus banget gambar kau,” kataku saat melihat hasil gambar temanku,
“bukannya kau tak bisa gambar?”
“Hahaha,”
dia hanya tertawa.
“Pasti
minta buatin si ***!” kataku.
“Sssttt…
jangan bilang pak guru!” katanya terlihat gugup.
“Bilang
tidak ya?” kataku memasang muka jahat, temanku terlihat semakin gugup.
Saat
aku mencoba membuka mulut, “JANGAN!” katanya berteriak sambil menutup mulutku.
Pak
guru menoleh ke arah kami, “Ada apa?” tanya beliau.
“Gak
apa-apa, Pak,” jawab temanku sambil tersenyum. Saat aku mencoba menyingkirkan
lengannya dari mulutku dia berbisik, “jangan bilang macam-macam!”
“Ok ok,
aku tak sejahat itu,” dia terlihat lega, “tapi, lepaskan tanganmu dari mulutku,
tangan bau,”
“Hehehe,
maaf,” katanya sambil melepas tangannya dari mulutku dan dia mencium tangannya,
“gak bau ah!”
***
“Yang
penting itu HASIL bro, prosesnya gak
penting!” katanya saat kutanya kenapa mengumpulkan hasil karya orang.
“Maksudnya?”
“Kalau
kau mau naik kelas, yang dilihat apa, nilai kan? Penentu kelulusan apa, nilai
UN! Kalau mau mendaftar kuliah, yang dilihat duluan apa, nilai kau di SMA kan?
Kalau mau kerja, yang dilihat apa, nilai dan akreditasi universitasmu, Bro!”
“Iya,
sih,”
“Nah,
maka dari itu, gak penting kita dapat nilai darimana. Mau ulangan nyontek, mau
tugas bikinin orang, gak ada yang mau tau! Yang penting tugas kita bagus,
nilainya bagus, ya kita bisa sukses! Kita lulus, diterima di universitas
berakreditasi, lulus, terus nyari kerja, ya selesai, tinggal kawin, hahaha.”
“Itu
juga bener sih, tapi…”
“Tapi
apa? Tapi itu gak jujur?” belum sempat aku mau merespon, dia sudah berucap
lagi, “Buat apa jujur di Negara kayak Indonesia, bro! semuanya di sini serba tak adil! Kita dipaksa tidak jujur!
Koruptor pencuri uang rakyat bisa dapat hotel di penjara, nenek pencuri buah
cucunya malah dihukum bertahun-tahun, gimana tuh!? Selain itu, untuk kita
sendiri, kayak yang aku bilang tadi, untuk menentukan kita di masa depan itu NILAI! Bagaimanapun cara kita
mendapatkannya, yang penting nilai bagus, pemerintah sudah senang, bahkan
pengawas-pengawas saat ujian membiarkan muridnya saling nyontek, demi mendapat
nilai yang terbaik, jadi, untuk apa jujur?”
“Er…”
aku bingung menjawabnya, “Betul juga sih katanya, tapi… ah sudahlah, aku tak
mau bertengkar cuma gara-gara perdebatan tak penting ini,” gumamku dalam hati
ketika aku ingin menyangkahnya
***
Itu tadi cerpennya, seperti
biasa, kritik dan saranmu aku ditunggu 🙂
Ya,
inilah Indonesia, ketika (kebanyakan) orang jujur tidak diperhatikan, ketika
kejujuran kadang harus ditutupi demi ‘keselamatan’, ketika segala sesuatu
dihalalkan agar mendapatkan keinginannya, ketika yang benar disalahkan, yang
salah dibenarkan, yang besar berkuasa, yang kecil tidak berdaya, persis seperti
hokum rimba, mungkin itu karena Indonesia adalah salah satu yang masih memiliki
banyak hutan, hahaha.
Tapi,
apapun alasannya, kita tetap harus menjunjung tinggi kejujuran, walaupun memang
itu sangaaattt… sulit! Sesulit apapun, kita pasti bisa.
Walaupun
tidak bisa langsung kita rasakan manfaatnya, yakini saja, setiap kejujuran yang
kita lakukan pasti bakal berdampak baik, apa dampaknya? Silahkan lakukan dan
rasakan sendiri 🙂
*********

 

Yap, seperti biasa, kritik dan sarannya ditunggu.

Mari menunggu lagi minggu depan 😀