Negeri 5 Menara adalah karya A. Fuadi yang membuatku jatuh cinta kepada beliau. Trilogi Negeri 5 Menara ini juga jadi salah satu alasan kuat untuk menjadi jurnalis di masa kuliah dan ingin melanjutkan pendidikan sampai ke luar negeri. Banyak petuah yang kudapat dari trilogi ini. Bukti aku mengidolakan Kang Fuadi adalah ketika rela untuk mengirimkan buku dari Banjarmasin ke Bintaro agar dapat mendapatkan tanda tangan beliau di semua karyanya. Setelah menceritakan perjalanan beliau di Trilogi Negeri 5 Menara dan mengisahkan hal lain di Anak Rantau, aku membaca lagi novel beliau berjudul Merdeka Sejak Hati.
Novel ini adalah autobiografi. Memang ini merupakan sebuah novel, tapi nyatanya ini adalah kisah hidup Lafran Pane. Ini sebabnya novel ini seperti film sejarah yang menceritakan (tentunya) sejarah. Alur cerita ini maju, mengisahkan Lafran Pane sejak kecil sampai berumur.
Awal cerita cukup menarik dengan kisah masa kecil Lafran Pane. Kehidupannya menjadi seorang Bad Boy karena merasa tidak merdeka membuatku tidak mau berhenti membacanya. Tapi ketika menjelang tengah babak di masa dia mendapatkan hidayah, semuanya terasa monoton. Ini karena cerita begitu tertebak. Hal itu karena mungkin ini adalah sebuah biografi. Cerita sejarah yang memang tidak bisa dirubah ini menjadikan cerita terasa monoton dan repetitif, terutama di bagian tengah.
Salah satu bagian yang kusuka di tengah cerita adalah saat Lafran Pane menjadi mahasiswa. Perjuangannya membela Indonesia membuat gelora semangatku membara. Novel ini menceritakan cerita dari sudut pandang pahlawan yang jarang diekspos.
Tapi ada hal menarik yang aku sayangkan tidak dieksplore lebih jauh. Masalah Lafran Pane dengan DN. Aidit tidak terlalu digali. Mungkin karena memang HMI dan PKI berada pada sisi yang berbeda sehingga cerita ini juga mengambil sudut pandang yang sama dengan Soeharto. Sangat penting untuk mencegah radikalisme dan bangkitnya PKI yang ditakutkan secara berlebihan oleh pemerintah. Itulah yang ingin disampaikan oleh novel ini. Sayangnya hal tersebut kurang mengena, karena sejak awal diceritakan DN. Aidit begitu dekat dengan Lafran Pane tapi keduanya tidak diberikan porsi berunding atau saling berargumen ketika sudah memiliki “posisi”.
Seperti kubilang tadi, cerita di tengah sangat membosankan karena semuanya mudah tertebak. Saat-saat Lafran Pane mendapatkan semua yang dia inginkan setelah perjuangan panjang tidak dibalut bumbu-bumbu menarik. Semuanya begitu mengalir tapi datar.
Untungnya menjelang akhir, cerita sedih dihadirkan dengan begitu menyayat hati. Di awal kisah, Lafran kecil melampiaskan kesedihan dengan membangkang, tipikal seorang anak yang merasa tidak punya kemerdekaan. Di akhir cerita, ia menceritakan kesedihan dengan sedih yang benar-benar sedih. Bahkan di halaman-halaman akhir, aku hampir meneteskan air mata.
Sayangnya hal itu belum mengobati repetitif dan monoton di pertengahan cerita. Hepi masih tidak bisa dikalahkan oleh Lafran Pane. Cerita di Anak Rantau lebih menarik. Apakah ini karena Merdeka Sejak Hati sebuah biografi yang harus menceritakan sejarah?
Salah satu alasan aku tetap setia membaca novel ini, selain karena A. Fuadi adalah idola, karena guru adalah profesi yang dilakoni bapak. Beberapa pesan tentang kepemimpinan dan amanah juga begitu menampar hati. Sudut pandang yang sebenarnya ada di berbagai pengajian diceritakan dengan lebih lugas ini. Membaca novel ini seperti membaca ceramah yang dibalut dengan kisah seorang pahlawan. Begitu mengena.
Melalui novel ini juga aku lebih tau mengenai HMI. Sejarah mengenai organisasi keagamaan yang digawangi mahasiswa ini ternyata begitu dalam maknanya. HMI yang sebenarnya diceritakan di sini. Jiwa-jiwa pembentukan HMI mampu kupahami lewat novel seorang yang menjadi salah satu pendiri HMI. Para kader HMI harus membaca buku ini agar perjuangan Lafran Pane jatuh bangun membangun HMI tidak sia-sia.
Leave a Reply