https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjps7bvqPytW7qb_zk7aoQ1_AcSsH2j-YJQFtT_aUsuVxRgFshynFtMjTweLZc6sEMsXJ2saCMJ-uYRKhY0SDmA8y314NQiGuHJ-GRlnbUA_DSihrItz2p7zHD1jU0QVhcHnXPjCYXwFgNc/s1600/aa.jpg“Eh, ibu Mawar lewat,” celetukku ketika aku, Wawan, dan Citak sedang duduk di luar. Citak langsung melihat sekeliling, “siapa yang berani ngajak salaman?”

Citak berdiri dari kuris yang didudukinya di depan kelas, “Aku,” jawabnya dengan gagah, diliriknya Wawan, “kau ikut gak?”

Wawan menoleh, “Aku?” Citak mengangguk. Wawan mengubah posisi duduknya, “Ah, gak level sama begituan, kalian saja.”

“Yakin?” tanyaku. Wawan mengangguk, aku menoleh Citak, “Kalau begitu kita saja,” Citak mengangguk.

“Ceritanya kita ngobrol,” kata Citak saat ibu Mawar sudah dekat, aku berhadapan dengan Citak berdiri, tangan kami sudah siap, Wawan dengan santai masih duduk di kursi.

Saat beliau sudah dekat dengan kelas kami, aku dan Citak baru mau menyalami, tiba-tiba, “Astagfirullah,” ibu Mawar tersentak saat Wawan menyalami beliau, ia dengan cekatan berdiri dari kursi dan mendahului kami, setelah itu baru aku dan Citak menyalami, “ibu sampai kaget,” kata beliau setelah kami bersalaman. Kami bertiga cuma nyengir.

“Dasar munafik,” kataku sambil menjitak kepala Wawan. Ia hanya tertawa.