Judul: Trilogi Soekram
Penulis: Sapardi Djoko Damono
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Dimensi: v + 273 hlm, Cetakan Pertama Maret 2015
ISBN: 978 602 03 1478 5
“Soekram sudah pulang ke masa depan!”
Itu kalimat terakhir dari novel karangan Sapardi ini. Jujur, alasan awal aku mengambil buku ini dari rak setelah membaca blurbnya:
Saudara, saya Soekram, tokoh sebuah cerita yang ditulis oleh seorang pengarang. Ia seenaknya saja memberi saya nama Soekram, yang konon berasal dari bahasa asing yang artinya–ah, saya lupa. Tapi sudahlah. Apa pun nama saya, saya harus menerimanya, bukan? Pengarang itu sudah payah sekali kesehatannya, kalau tiba-tiba ia mati, dan cerita tentang saya belum selesai, bagaimana nasib saya–yang menjadi tokoh utama ceritanya? Saya tidak bisa ditinggalkannya begitu saja, bukan? Saya mohon Saudara berbuat sesuatu.
Tokoh rekaan menagih cerita tentang dirinya? Aku yakin ceritanya akan sangat menarik.
Aku suka membaca, tapi bacaanku masih kurang banyak. Masih banyak penulis yang belum kubaca karyanya bahkan belum kukenal. Bahkan baru setelah selesai membaca novel ini aku tau bahwa seorang Sapardi Djoko Damono adalah sepuh di bidang sastra. Maafkan aku ya, Pak baru tau hal ini, hehe.
Lanjut ke novel.
Diberikan judul Trilogi karena memang novel ini merupakan gabungan dari tiga karya beliau yang sudah pernah diterbitkan yaitu: Pengarang Telah Mati (2001), Pengarang Belum Mati (2011), Pengarang Tak Pernah Mati (2011). Soekram sendiri adalah – seperti dijelaskan di blurb – seorang tokoh yang diciptakan pengarang dan keseluruhan novel ini menceritakan tentang dia.
Cerita pertama, Pengarang Telah Mati, menceritakan kisah dari seorang Soekram lewat file-file yang ditinggalkan pengarang yang sudah mati (kata Soekram), termasuk di bagian recycle bin, oleh editor yang ditemui Soekram.
Terdiri dari bagian-bagian yang terpisah membuat kita harus benar-benar mengingat tiap bagian agar tau benang merah dari cerita pertama ini. Fokus pada cerita pertama adalah kisah cinta Soekram dengan beberapa wanita, Ida, Rosa, Minuk dengan latar belakang kerusuhan Mei 1998.
Cerita kedua yaitu Pengarang Belum Mati tiba-tiba menampilkan pengarang yang ternyata belum mati. Dia marah karena editor, yang juga sahabatnya, menuruti perkataan Soekram, tokoh karangannya, untuk menerbitkan cerita Soekram. Pengarang memberikan disket kepada editor yang berisi cerita Soekram versi Pengarang.
Di cerita kedua ini menceritakan Soekram muda yang dipenuhi perbedaan. Adiknya menganut ideologi yang menurutnya membela kaum petani dan Soekram berada di organisasi yang orang-orangnya disebut burjois oleh sang adik. Kehidupan cintanya di sini juga dikisahkan dengan Maria yang seorang Katolik. Diceritakan Soekram adalah Islam tapi keluarganya tidak pernah sholat.
Cerita pertama cukup menguras otak karena harus mengingat tiap file agar menemukan benang merah, tapi alur berjalan lancar sehingga mudah diikuti. Di cerita kedua menurutku lebih mudah mengikuti. Ketika masuk di cerita ketiga, Pengarang Tak Pernah Mati, aku beberapa kali berhenti dan mengingat cerita ‘asli’ dari para tokoh yang ada.
Cerita pertama adalah cerita Soekram versi editor yang didapat dari warisan Pengarang, cerita kedua adalah versi Pengarang yang tiba-tiba muncul setelah tau karyanya diterbitkan. Cerita ketiga dibuat oleh Soekram sendiri. Ya, dia mengarang cerita tentang dirinya sendiri, yang juga merupakan sebuah karangan. Cerita tentang Robohnya Surau Kami karya A. A. Navis, Semar, Kartini, dan Siti Nurbaya karya Marah Rusli dicampur adukkan oleh Soekram. Ia tidak segan-segan mengubah cerita asli demi memuaskan dirinya sendiri.
Selesai membaca novel ini, aku jadi penasaran dengan puisi seorang Sapardi. Novelnya saja penuh dengan diksi dan kalimat-kalimat yang ‘puitis’, apalagi puisinya.
Novel dengan tema yang unik, dibuka dengan konflik percintaan dengan latar ‘bersejarah’, dilanjutkan dengan menceritakan sebuah ‘sejarah’ dan ditutup dengan mencampur adukkan ‘karya sejarah’.
“Ucapkan terimakasih pada jalan, meskipun tidak akan pernah membawamu ke suatu tujuan yang jelas,” – Hal. 100
Oh iya, ada kalimat yang sering diulang di novel ini:
“…di padang pasir tidak ada larangan untuk memakan pasir atau tidak memakan pasir,”
Ada apa dengan pasir? Memang ada disinggung tentang oasis, tapi selebihnya aku masih belum memahami sepenuhnya tentang pasir, apalagi padang pasir. Mungkin ada yang bisa menjelaskan?
Leave a Reply