Hari itu layaknya biasa, langit berwarna biru, angin membelai lembut, tidak ada tanda-tanda aneh kali ini, bahkan semuanya terlihat lebih damai dari biasanya.
Hari itu terasa begitu nyata, otakku mencerna semua yang disana saat itu adalah fakta.
“Aku pindah,” kata itu yang terlontar dari mulutnya – setidaknya begitu yang otakku cerna kala itu – saat kaki kami melakukan high five dengan setiap jejak di jalanan.
Bayangan bisa melangkahkan kaki bersama setiap pagi berkelabat di pikiran setelah kata itu terucap, perjalanan kali ini jadi makin berwarna karenanya. Semuanya menjadi sempurna ketika impian selama ini tercapai. Walaupun hanya kaki kami yang mengobrol aku sudah lebih dari bahagia, apalagi kalau bagian lain – terlebih tangan – ikut berpartisipasi.
Tetiba, film dimatikan, aku kembali ke realita. Jam dinding bundar menyapa, pukul sepuluh lewat sepuluh menit, aku balik tersenyum padanya.
Pagi selalu diawali pukul tujuh lewat duapuluh, tapi penutupnya adalah sepuluh lewat sepuluh layaknya asimetris delapanbelas lewat duapuluh yang dilanjutkan simetrisnya duapuluhdua lewat sepuluh. Dua melawan dua, seimbang, satu saja hilang entah yang mana, duapuluhempat jam tidak akan ada.
Leave a Reply