https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgfLpOnqcmAErL_NROy29IZp6Yd4AngzXby8oGetk2SpZrpEDYA6VavHy7CZLV8a3klWAnm02ZWJ9ALDV8IDTzBRr5QRyk-0iD8FfRBSaNGy98khInW-p4IlwZw-VBk1KEhScSJcZpXTCQ/s1600/Jangan+Sombong.pngBerbagai teriakan dan cacian keluar dengan lancar layaknya air terjun mengalir dari atas ke bawah, sementara orang yang dicaci tetap saja perform menampilkan yang terbaik. Aku yang berada di tengah orang yang mencaci hanya bisa berdiam diri, aku tidak ikut mencaci, tapi aku tidak bisa menghalangi mereka. Aku hanya orang baru di sini, tidak berhak mengatur, itu pikirku.

Bukan cuma satu tim, bahkan hampir semua tim yang perform diolok-olok oleh ‘kami’, “Ah, masa gerakannya cuma begitu,” itu diucapkan salah satu dari ‘kami’, yang lain mengiyakan sambil berteriak, ‘hu….!’
Setelah empatbelas orang tampil, waktunya kami yang maju, sekaligus sebagai penutup, karena kami memang terakhir. Setelah dipanggil, teman-temanku dengan angkuhnya berjalan ke atas panggung, entah kenapa perasaanku yang sudah tidak enak sejak tadi semakin menjadi, keangkuhan mereka akan menjadi malu setelah ini, gumamku.
Dan benar saja, mereka yang sejak awal mengolok-ngolok tim lain, ternyata penampilan ‘kami’ lebih buruk dari mereka. Banyak kesalahan yang kami buat. Bahkan, sekilas kulihat saat tampil, pelatih kami pergi meninggalkan tempat lomba. Dan benar saja, saat kami selesai tampil, pelatih kami sudah menghilang.
Tiba saatnya pengumuman, “Selamat sore semuanya, sekarang waktunya pengumuman,” ucap pembawa juri. Kemudian juri dengan lantangnya mengucapkan nama juara satu demi satu, mulai dari harapan ketiga sampai juara keduanya, “dan sekarang untuk juara pertama adalah…,” juri menggantung kalimatnya. Di antara kami sudah dorong-dorongan untuk maju, mereka seperti tidak sadar bagaimana penampilan mereka tadi.
Akhirnya, yang menang adalah tim yang ‘kami’ olok-olok, mereka bersorak-sorai bangga. ‘Kami’ tidak percaya, teman-temanku langsung menghambur ke muka dan protes ke juri, setelah itu aku tidak tau apa yang terjadi, aku pergi meninggalkan tempat lomba.
“Seperti biasa, sombong,” kata pelatih sambil menyuap baksonya, “betul, kan?” dia memandangku yang duduk di sebelah beliau. Aku mengangguk.