Judul : Pingkan Melipat Jarak (Trilogi Hujan Bulan Juni #2)
Penulis : Sapardi Djoko Damono (2017)
Penyelia naskah : Mirna Yulistianti
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Format : Paperback, vi+121 halaman
Tanggal 2 November kemarin film Hujan Bulan Juni rilis. Adipati Dolken dan Velove Vexia dipercaya untuk menunjukkan kisah cinta Sarwono dan Pingkan di layar lebar. Di bulan Maret lalu penulis Hujan Bulan Juni, Sapardi Djoko Damono meluncurkan tujuh buku sekaligus, termasuk buku kedua dari Trilogi Hujan Bulan Juni.
Haram membandingkan buku dengan film, begitu salah satu komentar Sapardi ketika ditanya soal film yang diadaptasi dari novel tersebut. Jadi aku tidak akan menyinggung sama sekali alur cerita filmnya di sini. Film dengan film, buku dengan buku.
Bagi yang belum membaca Hujan Bulan Juni, wajib untuk membacanya sebelum membaca ini. Karena ini trilogi, tidak ada alasan untuk langsung meloncat ke masa Pingkan hampir gila (atau malah sudah gila) karena Sarwono kalau belum tau kisah mereka ketika sedang menjalani perjalanan di Manado. Kalian perlu tau siapa itu Matindas dan Benny sebelum pergi berkelana bersama mabui. Dan Katsuo, lebih baik harus terbiasa menyebutnya si Sontoloyo.
Kalau sudah, silahkan lanjutnya membaca paragraf selanjutnya.
Ia beriman pada takdir, yang tidak mengenal seandainya | Hal. 13
Setelah di buku pertama dimanjakan dengan berbagai narasi dari Sapardi. Buku kedua sejak awal sudah menarik paksa kita masuk ke dunia imajinasi. Walaupun di tiap adegannya Sapardi menunjukkan dengan jelas mana nyata mana maya, tapi beliau seakan tidak memberikan ruang untuk pembaca bernafas dengan terus menarik dari maya kembali ke nyata lalu pergi ke maya dan nyata, begitu terus. Sapardi pernah berkata ngos-ngosan ketika menulis Hujan Bulan Juni. Aku merasakan hal yang sama ketika membaca Pingkan Melipat Jarak.
Seperti judulnya, novel ini lebih banyak berada di dunia Pingkan. Juga Katsuo. Karena memang Sarwono sedang tidak sadarkan diri. Sesekali memang Sarwono hidup, tapi kali ini Sapardi banyak menceritakan pergelokan di dalam jiwa Pingkan.
Seperti dikatakan tadi, kisah novel ini berada di dua dunia. Maya mungkin bukan kata yang tepat untuk dunia selain nyata. Sepertinya lebih mudah kalau kubilang, gaib. Memadukan mitologi Jawa dan Jepang, bagi yang tidak mengetahui tentang kedua budaya ini, bisa jadi tidak paham di beberapa bagian, seperti aku. Tapi Pingkan juga (pernah menjadi) Manado yang bukan Jawa apalagi Jepang, kan?
Sebenarnya hanya ada sedikit pertanyaan yang disisakan di buku pertama. Tapi setelah beberapa kejadian terungkap, seperti yang dilakukan Pingkan dan Katsuo di Jepang, asal-usul Katsuo, masa lalu dan juga cintanya, malah pertanyaan makin banyak yang menyeruak.
Di penghujung halaman, hampir saja Pingkan dan Sarwono menuliskan nasibnya. Dan ketika menamatkan titik terakhir, aku baru ingat masih ada satu buku lagi. Ketika aku merasa akan ada jawaban sebelum halaman ‘Tentang Penulis’, fakta bahwa masih banyak yang perlu dipertanyakan. Siapa Galuh? Dimanakah Noriko? Juga Benny? Apakah Ino itu Matindas yang lain? Tenangkah Hayati di sana? Yang terpenting Sarwono Pingkan? Ataukah Sarwono Katsuo? Ah, asal jangan menjadi Ronin. Tapi bisa jadi. Benar, kan?
“Aku tidak mau menjadi Sadako Sasaki, Katsuo.” – (Sepertinya) Pingkan | Hal.119
Teman-teman yang sudah membaca Hujan Bulan Juni, wajib membaca Pingkan Melipat Jarak. Bagi yang sudah menonton Sarwono yang dijelmakan Adipati, baca novelnya baru buku kedua. Tidak disarankan langsung ke Pingkan Melipat Jarak kalau belum tau cara bertutur Sapardi di Hujan Bulan Juni. Bagi yang belum dua-duanya, di toko buku masih banyak tersedia. Masing-masing hanya 100-an halaman, merugilah yang menyia-nyiakan kesempatan ini.
Leave a Reply