Digitalisasi adalah hal yang tidak bisa kita hindari. Begitulah yang dikatakan oleh Pejabat tiap kali mengisi kegiatan terutama terkait dengan peluncuran layanan digital terbaru. Sambutan mereka tidak jauh dari perkataan bahwa layanan ini hadir untuk memudahkan, semuanya bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja. Betulkah semua itu?
Digitalisasi bukan Sebuah Format
Makna digitalisasi tidak hanya sekadar memindahkan formulir kertas dalam bentuk digital. Apa bedanya mengisi formulir dengan menggunakan pena fisik dengan pena digital? Prosesnya tetap sama. Harusnya digitalisasi lebih besar daripada itu. Integrasi data yang disampaikan pemerintah harusnya membuat layanan bisa jauh lebih dari sekadar hal di atas.
Aku berkesempatan menjadi salah satu Fellow Indonesia School on Internet Governance. Sebuah kegiatan daring berupa diskusi tata Kelola internet terutama yang ada di Indonesia. Banyak hal menarik yang didapatkan disini, diantaranya mengenai digitalisasi dan hak untuk tidak terkoneksi.
Soal digitalisasi, harusnya masyarakat dimudahkan untuk mengakses berbagai jenis layanan hanya dari satu tempat. Pemerintah sudah memiliki banyak data rakyatnya, untuk apa meminta formulir yang harus diisi? Lebih baik apabila masyarakat disodorkan data lalu memilih dan memilah mana yang sesuai dengan dirinya. Kalua semuanya mengisi dari awal, apa bedanya dengan konvensional?
Hak Tidak Terkoneksi
Memiliki akses internet adalah hak masyarakat, sebaliknya pun begitu. Masalah keamanan data di Indonesia sering disoroti di tengah masifnya perkembangan layanan digital yang disediakan oleh pemerintah.
Masalah lainnya terkait dengan infrastruktur yang ada dan kesiapan masyarakat dengan disrupsi ini. Pandemi memang membawa masyarakat untuk lebih melek digital, tapi apakah ini artinya semua lapisan sudah cakap teknologi?
Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki ragam geografis yang berbeda dan infrastruktur yang tidak sama, termasuk di bidang internet. Tidak semua tempat memiliki akses internet yang cepat. Tidak semua masyarakat juga familiar dengan gawai meskipun sudah melewati pandemi.
Tujuan digitalisasi adalah memudahkan. Lalu, kalau di lapangan malah menyusahkan untuk apa diteruskan?
Pemerintah harus lebih memerhatikan mengenai kebijakan digitalisasi di masyarakat. Indonesia memang akan memasuki bonus demografi, namun bukan berarti teknologi merata di semua tempat.
Berikan opsi kepada masyarakat untuk tidak terkoneksi, tawarkan kepada mereka layanan konvensional. Kalau ternyata konvensional lebih, kenapa harus digital? Toh, memudahkan yang diinginkan untuk masyarakat, bukan pelayanan masyarakat kan?
Tidak Perlu Jadi Pelopor
Disrupsi teknologi terus bergerak dengan sangat cepat. Indonesia adalah negara yang kompetitif, tentu tidak ingin tertinggal dengan perlombaan ini. Sayangnya, kadangkala kita terlalu tinggi memasang target. Kita selalu ingin menjadi yang paling depan di perlombaan yang garis start pun tidak di barisan depan.
Ambil contoh di bidang kecerdasan buatan. Teknologi yang berkembang makin hari makin canggih. Indonesia tidak perlu membuat teknologi tandingan dengan embel-embel “Buatan Anak Negeri”. Kita cukup mengembangkan teknologi yang sudah ada untuk membuatnya sesuai dengan kebutuhan dalam negeri.
Jangan sampai terlalu ngotot untuk menciptakan teknologi tandingan dan bertarung di area yang tidak bisa kita gapai. Untuk apa?
Kesimpulan
Akhirnya, digitalisasi hadir untuk memudahkan masyarakat. Teknologi yang ada harusnya memudahkan umat manusia dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Internet hadir untuk mengoneksikan yang jauh menjadi dekat. Menginformasikan hal terkini dalam waktu sepersekian detik.
Kalau ternyata koneksi yang ada malah menyulitkan, untuk apa diteruskan?