Pengalaman pukul-pukulan di sekolah yang pertama adalah saat SD. Waktu itu aku hanya jadi samsak bagi para lelaki yang merasa kuat. Tanpa bisa melawan, aku menyimpan semuanya selama beberapa hari. Aku diam. Memang tidak lama karena Tuhan sayang aku dan membuat semuanya terkuak dengan menggerakkanku tanpa bisa kukendalikan.
Masih di masa SD, setelah kejadian pukul-pukulan pertama, aku merasa makin kuat. Kala itu, ketika aku sudah berdamai dengan mereka setelah mediasi di ruang wali kelas, aku kembali terlibat pukul-pukulan.
Pengalaman Memberikan Kekuatan
Aku tidak pernah ingin menjadi jagoan di sekolah. Pergaulannya sejak masa kecil yang lebih banyak berada di rumah membuatku menjadi anak yang tidak seperti anak lelaki kala itu. Aku masih bermain mobil-mobilan, Playstation, dan semacamnya. Tapi jarang. Kebanyakan waktu kuhabiskan di rumah untuk bermain (dan belajar) komputer, juga mengerjakan PR. Ya, masa SD-ku adalah masa-masa terajin sejauh ini.
Suasana rumah yang kondusif turut membuatku tidak siap dengan berbagai kekerasan. Aku melihat bermain bersama anak laki-laki di kelas akan membawaku ke dalam dunia yang kasar, mereka bercanda dengan keras. Sampai hari aku dirundung dengan keroyokan oleh beberapa lelaki membuat sesuatu dalam diriku muncul. Aku merasa lebih kuat. Aku merasa sejak hari itu, aku harus melawan.
Merasa Harus Melawan
Tidak berlangsung lama sejak masalah perundungan selesai, ada anak kelas yang memang dari dulu suka mengejek. Tidak sedikit yang dia ejek dan tidak banyak yang melawan. Semuanya hanya sebatas, “Ih, gak gitu!” dengan memasang muka kesal. Apakah masalah selesai? Dia makin menjadi melihat orang lain kesal.
Aku tidak luput dari ejekannya. Dulu aku hanya diam saat diejek, tidak berani melawan. Hari itu, saat dia berada di sampingku, mengatakan ejekan-ejekan, aku berdiri dari kursi. Kukumpulkan tenaga dari dalam tubuh, kudorong dia. Badannya yang jauh lebih kecil dariku membuatnya lebih dari terjatuh, dia terpental. Hening. Suasana tiba-tiba mencekam. Warga kelas lain kaget seorang Rifqi melakukan hal itu. Itulah kala pertama aku berani melawan dengan fisik.
Perkelahian Cinta Monyet
Hari itu tiba-tiba orang itu mendekati kursiku. Saat itu sedang istirahat dan orang ini adalah siswa kelas sebelah. “Ikam meapa ka wadah Mawar (kamu ngapain ke tempat/rumah Mawar),” katanya sambil menjotos kepalaku. Aku diam. Dari luar terlihat diam, di dalam hati bergejolak. Melihatku diam ia tidak berhenti bertanya dan menjotos.
Sama seperti kejadian sebelumnya, aku berdiri lalu mengumpulkan tenaga. Kalau saat mendengar ejekan aku hanya mendorong, kali ini setelah kudorong langsung kuhabisi dia. Sambil berteriak aku pukuli dia yang sudah tersungkur. Bel tanda masuk berbunyi, ibu guru melerai kami. Apakah pertanyaannya kujawab? Tidak. Aku hanya membalas jotosannya, bukan pertanyaan.
Cerita yang Sebenarnya
Hari itu hujan deras namun aku bersikeras kerja kelompok di rumah Mawar. Berbekal jas hujan, aku diantar ayah pergi ke rumahnya. Ternyata sebelum aku datang, Melati sudah lebih dulu berada di sana. Aku datang ketika hujan sedang semangat-semangatnya, anggota kelompok lain tidak ada yang datang. Aku dengan dua anak perempuan di rumah yang tidak ada orangtua mungkin akan jadi masalah kalau sudah terpapar berbagai hal. Tapi kala itu aku masih polos. Kami yang masih SD dan aku yang sudah terbiasa bersama perempuan kala itu benar-benar mengerjakan tugas kelompok.
Saat hujan mulai reda, kami bermain di teras. Lewatlah anak kelas, dua laki-laki, salah satunya adalah pelaku perundunganku. Mereka yang sudah terpapar hal negatif langsung mengejek kami. Tersebarlah gosip tidak masuk akal di sekolah. Itulah yang membuat siswa kelas sebelah menjotosku. Kala itu aku pun tidak tau dia pacarnya, kata “pacar” pun belum kukenal. Jangankan pacar, “cinta” pun tidak ada di pikiranku saat itu.
Selalu Menangis
Satu hal yang sudah menjadi kodrat saat perkelahian masa kecil adalah menangis. Begitupun aku. Saat melakukan pukul-pukulan di dua waktu yang berbeda, aku selalu menangis. Emosi tidak hanya diluapkan dengan mengamuk, tapi juga menangis. Aku tidak sedih, tidak pula merasa bersalah, tapi marahlah yang membuatku menangis.
Masa-masa tidak bisa mengatur emosi dengan benar, mungkin itulah sebabnya anak kecil selalu menangis ketika perkelahian. Belum punya banyak bekal tentang berbagai cacian membuatku hanya bisa berteriak ketika marah dan saat tidak ada lagi yang bisa dilontarkan, hanya menangis satu-satunya jalan untuk meluapkan.
Berakhir di SD
Banyak hal yang berubah saat aku lulus SD. Bibit-bibit playboy mulai tumbuh ketika masuk masa-masa SMP. Temanku pun tidak hanya lagi perempuan, apalagi semenjak puber dan menemukan para lelaki yang sejalan. Banyak kenangan bersama teman-teman lelaki di masa SMP. Satu hal yang pasti, masa pukul-pukulan telah berakhir. Cukup di SD aku meluapkan emosi membabi buta. Aku sudah merdeka.
Leave a Reply