Blog bagiku adalah ajang untuk berbagi cerita, begitulah awalnya coretanrifqi.blogspot.com tercipta dulunya. Seiring berjalannya waktu, banyak masa-masa yang terlewati. Sampai sekarang, belum ada satu kategori yang mampu kubuat secara rutin. Akhirnya, kisah hidup alias lifestyle – kalau tidak bisa dibilang gado-gado – yang banyak kutulis di blog.
Tulisan-tulisan yang tidak punya
kaidah SEO dan bahkan tidak ada keyword yang bisa ditargetkan di mesin pencari. Sekalipun ada, informasi apa yang bisa kusampaikan? Logika ingin aku menulis sebagai seorang bloger yang memberikan informasi bagi pembaca tapi nurani mengatakan, “Tulis saja sesukamu!”
Kali Ini Kisah Hidup
Kisah cinta sejak SD sampai lulus kuliah sudah kuceritakan di edisi sebelumnya. Awalnya ingin kubuat buku tentang kisah hidup ini layaknya Raditya Dika. Tapi biarlah berakhir disini. Saat Tuhan menakdirkan untuk terbentuknya sebuah karya yang lebih dari sekadar postingan pasti nanti akan hadir. Hal penting yang mesti dilakukan adalah terus berkarya. Hal yang tidak kalah penting adalah menulis satu postingan dengan minimal 500 kata. Ada yang bilang 700 kata sekarang, apakah harus kuperpanjang?
Berawal dari Olimpiade Matematika, Berakhir di Runner Up Provinsi Kimia
Kisah kali ini semuanya berlatar waktu saat aku SMP. Sebagai siswa yang memang menonjol sejak SD, tidak butuh waktu lama untuk meraih reputasi menjadi siswa pintar. Kala itu aku masih belum sadar kalau bergelimang nilai tinggi ternyata tidak menjamin pintar yang sebenarnya. Semuanya baru kusadari saat aku berada di bangku perkuliahan. Kisah ini akan kubahas lain waktu.
Kembali saat SMP, aku terpilih menjadi salah satu perwakilan sekolah untuk olimpiade matematika yang diadakan SMA baru yang langsung melejit menjadi sekolah favorit karena merupakan boarding school dan menggunakan konsep billingual. Seleksi masuk yang ketat dan proses belajar mengajar yang (katanya) bagus. Sekolah ini mengadakan lomba matematika dengan hadiah yang menggiurkan: golden ticket untuk lolos seleksi. Sebenarnya bukan golden ticket, hanya “diprioritaskan”. Kenapa?
SMP-ku patut berbangga, juara satu olimpiade itu adalah kami. Tentu saja bukan aku. Ketika seleksi masuk SMA, aku berniat untuk masuk SMA favorit itu. Tidak ada batasan siswa yang boleh mendaftar, tapi pendaftaran dilakukan melalui rekomendasi sekolah. Sebelum berkas nilai diperiksa oleh pihak panitia, sekolahku sudah ciut. Hanya ada satu siswa yang diizinkan mendaftar disana. Bisa kalian tebak siapa.
Seperti kubilang di atas, SMA ini begitu ketat. Bukan hanya akademis, fisik pun diperhatikan. Selain seleksi nilai raport, ada tes ujian masuk yang salah satunya adalah tes fisik. Temanku sang juara satu olimpiade memang mendapat prioritas, sayangnya fisiknya tidak sesuai dengan SMA itu dan dia pun gagal. Andaikan diizinkan, paling tidak aku tahu apakah layak aku disana. Tapi penyesalan tidak membuatku benci dengan sekolah. Aku sudah percaya ini adalah takdir. Gagal masuk di SMA itu tapi aku berhasil bersanding dengan mereka di ajang olimpiade saat SMA dan
berkuliah di PTK yang diincar puluhan ribu siswa.
Gagal karena Teledor
Tidak teliti adalah sifat buruk yang sangat sulit untuk kuhilangkan. Sampai sekarang pun hal ini menjadi sesuatu yang masih kuusahakan hilang dari muka bumi. Aku tahu ini salahku, tapi sisi egois berteriak bahwa guru punya andil dalam kegagalanku mengikuti lomba. SD adalah saat aku tidak bisa apa-apa. SMP merupakan masa aku berusaha berjuang mencari jati diri dan berusaha mengejar mimpi. Salah satu guru menawarkan untuk mengikuti lomba karya tulis, sebelum diberangkatkan mewakili sekolah, ada seleksi dengan mempresentasikan hasil karya dengan guru.
Aku lupa saat itu beliau sudah berjanji namun tidak jadi atau cuma berkata tunggu dipanggil presentasi. Lembar karya tulis selalu kubawa tiap hari untuk berjaga barangkali hari itu disuruh untuk memaparkan karya. Sialnya, hari ketika aku disuruh untuk memaparkan, lembaran itu malah tertinggal. Tidak ada waktu untuk mengambil di rumah dan hari itu tidak ada persiapan. Jadilah aku berbicara tanpa isi dengan bahasa terbata karena belum sering berbicara di depan umum. Kesalahan fatal itu membuatku gagal.
Guru yang mengajakku untuk ikut karya tulis sekarang sudah tidak ada. Pak, mohon maaf kalau ada kata-kata saya yang salah dalam menyampaikan hal ini. Tapi Pak, tidak ada dendam di hati saya kepada bapak. Hanya kala itu waktu yang tidak tepat untuk saya. Tenang di alam sana, Pak.
Bukan Ujian Bahasa tapi Menulis Cerpen
Sudah kubilang di atas bahwa aku berhasil menjadi salah satu siswa terbaik di SMP. Kehebatan dalam menghafal dan kuyakin campur tangan Allah karena saat itu aku masih rajin mengaji dan sholat lima waktu (bahkan tahajjud dan dhuha). Otakku lancar dalam menghafal dan juga begitu mudah memahami teori.
Salah satu aturan ujian adalah tidak boleh keluar sampai waktu habis. Sekalipun sudah selesai di 5 menit pertama dan yakin dapat 100, harus tetap duduk manis di kursi. Saat itu ujian matematika, ada kertas buram yang diberikan untuk menghitung. Tidak banyak ruang yang kucoret untuk menghitung. Sisanya kutuliskan barisan aksara. Ya,
kutulis cerpen di situ. Beberapa curhat. Kumasukkan dalam kotak pensil dan kubawa pulang. Namun semuanya hilang, tidak sempat kuabadikan apalagi kumasukkan dalam goresan digital.
Leave a Reply