Ada salah satu postingan di facebook. Postingan salah satu bloger yang konsisten menulis tanpa embel-embel “paid promote” dan sekawanannya. Membaca judul dan cuplikan isinya pun sudah membuatku terasa tertonjok. Tapi karena tulisan beliau belum kubaca, aku tidak akan menuliskannya di sini. Mungkin di edisi berikutnya.
Kenapa Menulis?
Intinya, dari postingan itu aku berpikir (dan bertanya). Kenapa menulis? Kenapa aku menulis di blog? Apa yang kukejar dari menjadi seorang bloger? Keuangan? Ketenaran? Apa sebenarnya impianku dalam hal kepenulisan? Apa yang kukejar? Kenapa menulis?
Akhir-akhir ini aku sudah berniat untuk menulis organik. Ingin mengungkapkan isi hati. Namun setiap membuka laman blogger, semuanya kosong. Beberapa catatan mengenai ide pun tidak menarik rasanya. Aku tidak bergairah untuk menggarapnya. Kenapa?
Ada yang Salah, Tapi Apa?
Tapi kali ini aku berhasil menulis. Entah karena efek kopi atau memang karena akhirnya aku bergairah. Tidak baik sebenarnya seorang penulis membiarkan writing block menguasai dirinya. Apalagi sebagai ASN yang membuat jam kerja tetap, waktu untuk menulis terbatas. Tidak bisa menulis mood mood-an. Harus bisa konsisten agar blog tetap terisi. Ingin memaksakan dengan menulis untuk lomba tapi ada yang mengganjal, seperti ada yang salah. Kembali lagi ke pertanyaan itu.
Aku Ingin Waras
Aku harus kembali waras. Kembali ke tujuan awal. Itulah tujuanku menulis. Agar tetap waras.
Sepertinya memang kopi yang membuat otakku berjalan. Harus ada stok sepertinya untuk bisa membuat blog ini terus jalan. Tapi tak apalah secangkir kopi daripada sebatang rokok. Pekatnya kafein menurutku lebih bersahabat daripada nikmatnya nikotin.
Menulis adalah caraku agar tetap waras. Rutinitas dan berbagai hal duniawi membuatku serasa dikekang. Tidak bebas. Waktu memang tidak bisa diajak kompromi. Harus bersaing bahkan ketika sudah lelah. 24 jam adalah sangklek, tidak bisa dibengkokkan bahkan dikurangi sederajat. Strategi harus matang. Waktu adalah musuh yang tidak bisa diajak berunding sejenak.
Sering aku berharap ada pekerjaan yang bisa membunuh waktu. Tapi aku berpikir, benarkah mereka terbunuh? Atau sengaja mundur untuk menyerang secara tiba-tiba? Aku harus tetap waras. Menulis adalah amunisi. Kopi adalah senjata sekaligus makanan di kala perang. Hanya kopi? Mungkin segelas pisang goreng atau camilan lain juga perlu. Namun kalau sederhana, cukup kopi.
Aku masih waras, tapi diskusinya masih tidak terarah. Ya, terlalu deras.
Amunisi dan Kopi?
Iya, bagiku kopi adalah senjata terbaik. Walaupun memang terkesan memaksa, tapi memang hanya begini aku jadi merasa waras. Kembali menjalani hobi dan menulis. Mungkin awalnya terpaksa, tapi lama-lama kuharap bisa terbiasa.
Menulis bagiku amunisi. Hidup di dunia dengan penuh rutinitas dan hal baru. Huft, aku mulai merasakan kebingungan. Apalagi yang bisa kudiskusikan, kisah cinta atau masalah investasi? Dalam diskusi pun aku harus memberikan batas minimal.
500 kata adalah minimal jumlah yang harus kutuliskan. Apakah di tulisan ini sudah sampai jumlah itu? Kepalaku mulai bereaksi. Inikah efek kepaksaan kopi? Rasanya sudah lelah. Cukupkah episode perdana ini?
Tulisan Ini Untukku
Postingan ini adalah diskusi dengan diriku sendiri. Tulisan organik yang kuharap bisa ada rutin. Kuberi nama Sadi yang berasal dari akronim “Sekali Jadi”. Sekali tulis, langsung jadi. Tanpa edit, murni diskusi tanpa dipoles baik ditambah atau dikurangi. Ini aku.
Kalau kalian, kenapa menulis?
Sebagai penutup, terimalah ucapan maaf dariku. Maaf atas ketidakjelasan struktur diskusi ini. Masih belajar dan berusaha untuk terus berproses. Penulis yang hebat adalah pembaca yang rajin, itu hal yang kupegang. Berikut rekomendasi novel yang bisa dibaca untuk mengisi waktu.
Sekian.
Leave a Reply