Onggy (Dion Wiyoko), anak kecil dari Tarakan, mempunyai mimpi terbang untuk mencapai masa depan yang lebih baik. Onggy berpikir bahwa pendidikan menjadi salah satu cara mencapainya. Ia tidak bisa hanya berdiam di Tarakan. Ketika ayahnya meninggal, Onggy mantap terbang ke Surabaya. Baginya itu cara agar nasibnya tidak berakhir seperti sang ayah.

Film ‘Terbang : Menembus Langit’ menayangkan rekam jejak perjuangan Onggy Hianata, seorang motivator sukses, dari jatuh kemudian bangun, jatuh lagi lalu kembali bangun. Mulai dari berjualan apel dan jagung bakar dilakoni Onggy agar bisa membayar biaya kuliah di Surabaya.

Ketika lulus, Onggy kedatangan keluarganya dari Tarakan. Saat itu ia sedang merintis bisnis kerupuk. Sayang, bisnis kerupuknya juga kandas. Beberapa kali Onggy mencoba usaha tapi selalu gagal. Pada suatu hari, akhirnya hidup (terlihat) sejahtera. Ia berakhir seperti ayahnya. Onggy menjadi pekerja di salah satu pabrik benang dan mendapat penghasilan tetap. Setelah itu, Onggy menemukan cintanya di sebuah salon ketika mengantar sepupunya. Beberapa kali melakukan pendekatan, akhirnya Candra (Laura Basuki) dan Onggy resmi menikah.

Suatu hari, Onggy memutuskan untuk berhenti dari pabrik benang. Keputusan ini diambil setelah ia berbincang dengan seorang bapak yang merasa waktu berlalu begitu cepat. Bapak tersebut merasa kesibukan di pabrik benang membuatnya tidak sadar anaknya tetiba saja sudah mau menikah. Beliau merasa tidak punya waktu untuk anak.

Cerita Onggy berakhir ketika ia menjadi motivator sukses. Tapi apakah setelah memutuskan berhenti bekerja, Onggy langsung berhasil menuju kesuksesan? Tonton ‘Terbang : Menembus Langit’ di bioskop kesayangan kalian.

Resensi :
Biasanya film biopik menjadikan nama orang sebagai judul film. Tapi film ini berbeda. Orang yang tidak membaca sinopsis sebelum menonton bisa saja tidak menyangka ini adalah seorang film tentang Onggy Hianata.

Film ini sarat akan pesan persatuan. Apalagi dengan menyajikan seorang keturunan Tionghoa dengan latar ’80an dan ’90an. Di awal film, saat di Tarakan diperlihatkan ayah Onggy yang mahir dalam berbagai bahasa daerah melerai pertengkaran warga. Saat di Surabaya, Onggy berbagi kamar dengan orang Papua, Jawa, dan Medan. Ketika peristiwa kerusuhan ’98 terjadi, Onggy dan Candra diselamatkan oleh warga dari kampung dia tinggal.

Fokus utama adalah kisah pantang menyerah seorang Onggy. Berbagai usaha yang dia jalani gagal, “Kamu gak capek apa gagal terus?” sampai-sampai saudaranya berkata seperti itu. Tapi Onggy selalu bangkit. Ia tidak pernah menyerah dan selalu punya ide untuk usaha baru. Tiap kali adegan jatuh bangun, emosi penonton diaduk antara kesedihan dan pembakaran semangat. Seperti ketika Onggy gagal bisnis kerupuk, ia meluapkan kesedihan dengan memakan hasil jerih payah bermodalkan tabungannya. Di sisi lain adegan memakan kerupuk tersebut juga memunculkan perasaan ‘bersemangat’.

Sisipan komedi di antara kisah jatuh bangun Onggy menjadikan film ini tidak terlalu tegang tapi tetap mampu menguras emosi penonton. Pemandangan Tarakan di awal film menjadi daya tambah tersendiri terutama buatku sebagai warga Kalimantan.

Film ini sudah sangat bagus menceritakan perjuangan hidup seorang Onggy. Sayangnya pengambilan latar rentang waktu yang terlalu lama membuat film ini tidak sempat menceritakan keseluruhannya. Tiba-tiba saja film ini selesai dan langsung lompat ke cerita saat Onggy sukses. Terlalu banyak menceritakan jatuh bangun Onggy di berbagai usahanya sampai-sampai film ini ‘lupa’ menceritakan kisah Onggy sebagai seorang motivator.

Bagi yang sedang terpuruk, berada di jurang dalam, tonton kisah perjuangan Onggy. Bandingkan siapa yang lebih sering dihantam kenyataan ketika ingin terbang. Bandingkan juga siapa yang lebih sering bangkit walau dihantam sekian kali.

“Ayo kita nyalain AC buat Rich,”