Jakarta adalah sebuah kota yang penuh ‘keindahan’. Tiap lebaran, banyak orang berbondong-bondong ingin menjajal ibukota Indonesia ini. Menurut data BPS DKI Jakarta, jumlah penduduk kota ini bertambah sekitar 100 ribu orang dari tahun 2014 ke 2015. Kenapa Jakarta bisa menarik manusia sebanyak itu? Mungkin cerita ini bisa menggambarkannya.
Cerita Dua Ayah
Awalnya hanya ayahnya yang berada di kota megah ini. Keluarga menyimpan harapan besar dengan kepergian kepala keluarganya, tentunya harapan itu berkaitan dengan dapur yang lebih mengepul, sepatu baru, atau skin teranyar game online. Tahun berikutnya, ayah mengajak ibu ikut ke perantauan. Apakah ini karena hidup di sana lebih baik? Tidak. Ia berharap dengan adanya kekasih di sampingnya akan membuatnya lebih bersemangat (dan semoga lebih banyak rejeki).
Di desa yang sama, ayah di keluarga yang lain juga merantau. Tapi bukan pergi ke kota besar, bukan pergi ibukota, ia pergi ke luar pulau. “Buat apa jauh-jauh ke Kalimantan, bukannya di sana cuma ada hutan?” ini perkataan ayah yang sekarang berada di Jakarta di malam terakhir mereka ngopi bersama. Sambil menyeruput kopi, ia hanya tersenyum mendengar hal itu. Setahun kemudian, bukan hanya mengajak istrinya, ayah yang satu ini mengajak serta anak-anaknya ke perantauan. Samakah alasannya dengan ayah sebelumnya?
Ayah di Jakarta menjual tanah untuk bisa memboyong sang istri ke perantauan. Ini artinya tanah di jual di tahun kedua ayah berada di rantau. Ayah di Kalimantan menjual tanah untuk ongkos pergi merantau. Ini artinya sejak awal pergi, ia sudah tidak punya tanah. Bagaimana caranya memboyong istri, bahkan anaknya? Tentu saja dengan hasil jerih payah selama di perantauan.
Kalimantan bukan hutan seperti yang sebagian orang (terutama Jawa) pikirkan. Kalimantan bahkan memiliki kota yang lumayan besar seperti Banjarmasin dan Samarinda. Roda perekonomian jalan di sini. Bedanya, pola pikir para perantau yang membuat Kalimantan tidak semenarik Jakarta sebagai tempat mengadu nasib. Orang-orang yang berani tampil beda dan siap terhadap tantangan tempat ini, akhirnya bisa sukses. Bahkan lebih baik daripada perantau Jakarta. Tentunya jumlah saingan turut menentukan. Selain kehidupan ibukota yang lebih keras dan faktor lainnya.
“Aku capek!” – Ibukota
Jakarta sudah sampai pada batasnya. Ada yang memprediksi wilayah ini akan tenggelam, tingkat polusi yang sangat memprihatinkan, kemacetan yang tidak kunjung usai, dan manusia yang terus berdatangan dari segala penjuru beranggapan ibukota adalah guci berisi emas yang isinya tidak pernah habis. Memang Jakarta megah, tapi ia lelah. Beberapa waktu yang lalu, muncul wacana pemindahan ibukota. Kalimantan menjadi nama yang menjadi kandidat paling kuat. Tahan gempa dan banyak lahan kosong. Mungkin itu dua alasan terpilihnya pulau terbesar di Indonesia ini.
Pemindahan ibukota mungkin pilihan yang tepat untuk mengurangi kelelahan Jakarta. Tapi jangan sampai pemindahan ibukota menjadi ajang pemindahan masalah. Kalimantan memang memiliki potensi kecil terhadap gempa, tapi masalah Jakarta bukan hanya itu. Selain itu, Kalimantan juga punya masalah sendiri.
Tata Kota dan Edukasi
Kalimantan bukan lagi hutan seperti di bayangan orang kebanyakan, WWF memprediksi 75 persen hutan Kalimantan akan hilang di 2020, ini artinya potensi banjir menjadi semakin tinggi. Pembangunan massif yang akan terjadi untuk membuat sebuah ibukota juga perlu diperhatikan agar masalah di Jakarta tidak terulang, seperti banjir dan kemungkinan tenggelam. Perlu tata kelola yang matang untuk hal ini. Pemerintah bisa berkolaborasi dengan lulusan Perencanaan Wilayah dan Kota untuk merencanakan ibukota yang lebih baik. Hal ini tentunya juga membuat pemuda, para penerus estafet pembangunan, ikut ambil bagian. Apabila mereka dilibatkan sejak awal, apabila kelak ada masalah dalam perjalanannya, tentunya solusi akan lebih gampang diraih.
Edukasi masyarakat terkait pemenuhan nafkah juga perlu dilaksanakan. Penanaman tentang ladang uangg tidak harus pergi ke ibukota adalah hal yang penting sebelum memindahkan ibukota. Ini agar keadaan di Jakarta tidak terulang. Jangan sampai ibukota yang baru dipenuhi oleh orang-orang yang memiliki pola pikir layaknya ayah di Jakarta. Sebenarnya bagi mereka yang mempunyai keahlian cukup, tidak masalah bersaing di ibukota. Sayangnya, banyak orang-orang yang ‘berjudi’ di ibukota. Akhirnya yang terjadi malah kemiskinan meningkat, daerah kumuh menjamur, bahkan masalah rusaknya udara ibukota dan banjir yang berkepanjangan juga disumbang oleh kelompok ini.
Pemindahan ibukota memang membutuhkan banyak pembenahan, tapi harapanku bagi ibukota yang baru, entah itu di tanah kelahiranku atau bukan, semoga pemerintah melibatkan pemuda dalam merencanakan tata kotanya dan mengendalikan orang-orang yang ingin menyerbu. Pemindahan ibukota dilakukan agar ibu pertiwi bisa merawat Jakarta, jangan sampai ibukota yang baru menjadi kelelahan juga.
Leave a Reply