Kalau kalian ke Pasar Terapung di Kalimantan Selatan, melihat empat orang remaja, salah satunya sibuk memotret, sementara tiga lainnya asyik berbicara, aku lah yang memotret.
***
Matahari masih ogah-ogahan memancarkan sinar, mungkin masih ngantuk. Tapi, puluhan jukung, sebutan untuk perahu manual alias tidak pakai mesin di Kalimantan Selatan, berisi berbagai macam barang dan penjual yang biasanya ada di pasar tradisional, juga berbagai turis domestik maupun mancanegara, sudah berlalu lalang di sungai Barito. Turis tidak memakai jukung, tetapi klotok, jukung yang memakai mesin. Beginilah suasana Pasar Terapung. Dari berbagai turis domestik, kami termasuk di dalamnya. Aku pergi bersama ketiga temanku, Chandra, Wawan, dan Ahmad. Ekspetasi bisa melihat pemandangan berbeda dari tempat yang unik membuatku bersiap mengabadikan setiap momen yang ada, menulis dan memotretnya, sehingga tanganku selalu terselip kamera dan note beserta pulpennya.
Dari awal memang aku sibuk sendiri, aku tidak memerdulikan teman-temanku. Entah ini salahku atau bagaimana, aku juga ingin diajak bicara, ingin ikut nimbrung, tapi karena merasa tidak diajak, akhirnya aku meneruskan kesendirianku, walaupun aku merasa tidak nyaman.
“Wah, kau menang lagi ya, selamat ya, memang kau hebat banget,” beberapa kali kudengar ucapan selamat terdengar dari mulut Wawan. Dia memuji Chandra karena selalu menang lomba memasak. Ahmad juga mengamini setiap perkataan Wawan. Sedangkan Chandra, dia sangat senang dipuji. Ini hal lain yang membuatku tidak nyaman, walau kuakui Chandra memang koki yang hebat, aku tetap merasa tidak nyaman setiap menjadi runner up alias juara kedua, aku juga ingin dipuji-puji. Aku juga punya prestasi!
Akhirnya, aku muak dengan semua ini, aku sudah mencoba merasa nyaman dengan ketidaknyamanku di sini, membiarkan aku dicuekin dan menjadi runner up, dan akhirnya aku bisa nyaman dan terus memotret, serta menulis. Tapi, aku muak, aku tidak suka dengan yang nyaman-nyaman saja, aku tidak suka berada di comfort zone, aku ingin tantangan, aku tidak nyaman berada di posisi nyaman. Dan saat klotok kami merapat di dermaga Pulau Kambang, pulaunya para warik, sebutan untuk monyet dalam Bahasa Banjar, aku mengalungkan kameraku, kumasukkan noteku ke dalam saku, aku keluar klotok terlebih dahulu, “Mau ikut berburu bule?” tanyaku sambil menatap ke arah ketiga temanku, “Yang tidak dapat foto bareng bule sampai kita pulang, bakal ntraktir makan Soto Banjar,” lanjutku. Setelah mendengar taruhan itu, ketiga temanku langsung berhambur ke luar.
Inilah yang membuatku nyaman, berada dalam tantangan. Setelah kami berburu bule, pasti perasaan tidak nyamanku hilang, nantinya pasti aku tidak akan dicuekin, setidaknya selama kami berburu dan sesaat setelah selesai berburu. Dan dengan ini juga, aku akan mengejar juara, akan kukalah kau, Chandra. Dan yang pasti, aku yang bahasa Inggrisnya pas-pasan ini, bukannya berada dalam posisi nyaman, tapi tidak nyaman, itu yang kusuka.
Ya, inilah tiga hal yang membuatku tidak nyaman, ‘Dicuekin’, ‘Runner Up‘, dan ‘Nyaman’.
Kau baru merasakan hidup ketika keluar dari zona nyamanmu!
Leave a Reply