Hidup seorang korban pelecehan seksual tidak pernah mudah, trauma akibat hal ini bisa berlangsung bertahun-tahun. Sangat sulit mengembalikan warna-warna kehidupan kepada korban. Bukan hanya dirinya sendiri, keadaan akan semakin parah apabila keluarga tidak mengambil tindakan yang tepat. Inilah yang coba ditunjukkan di “27 Steps of May”.
May (Raihaanun) dulunya adalah remaja yang ceria. Pasar malam menjadi bukti kehidupan berwarna menghiasi hidupnya selama 14 tahun. Semuanya berubah ketika di suatu sudut gelap, semua warna di jiwa May dihapus begitu saja. Bukan dengan kuas hitam, tapi putih bersih.
Pulang ke rumah dengan lusuh dan jiwa teriris, Bapak May (Lukman Sardi) ikut terguncang. Delapan tahun berlalu, May tetap putih bersih. Ia tidak beranjak dari kamarnya selain untuk makan. Itu pun hanya makan yang putih bersih. Kontras dengan sang ayah yang penuh warna. Walau lebih berwarna, bukan berarti Bapak ceria. Ketika May melampiaskan trauma dengan lompat tali dan menghitung boneka, ayahnya mencoba menghilangkan kesedihan dengan amarah. Pukul sana pukul sini.
Hidup keduanya monoton. Selalu sama setiap hari. Lompat tali, menghitung boneka, mengantar boneka, mengambil boneka baru, membuat boneka, makan. Verdi Solaiman sebagai Kurir pengantar boneka menjadi pembeda. Ia terus membujuk Bapak May untuk berbuat sesuatu.
Semuanya mulai berwarna ketika pesulap (Ario Bayu) hadir melalui celah di kamar May. May mulai melihat suatu yang baru. Mencoba hal berbeda setelah delapan tahun terkurung dalam rutinitas.
Resensi
Banyak film Indonesia menarik di bulan April. Sebelum film ini, ada Ave Maryam dan Kucumbu Tubuh Indahku yang hadir mewarnai perfilman tanah air. Kalau dua film sebelumnya terhalang oleh kontroversi, film ini harus hadir di tengah hype kehadiran film superhero yang dinanti banyak orang.
Latar
Film ini terasa repetitif di fase awal. Ritme yang disajikan pun terasa lambat. Tapi hal tersebut berhasil memberikan penggambaran kepada penonton tentang sulitnya hidup seorang korban pelecehan seksual. Bukan hanya korban, keluarganya pun turut menghadapi kesulitan tersebut.
Minimnya dialog yang disajikan membuat berbagai simbol di tiap adegan menjadi berarti. Makanan putih dan berwarna, baju boneka, dan halaman depan rumah May tidak lepas dari bagian dialog tanpa dialog.
Penokohan
Raihaanun berhasil memerankan May dengan sangat apik. Dengan adegan-adegan minim dialog, penonton tetap bisa melihat trauma mendalam May dan ketika lubang di kamarnya terbuka, perubahan-perubahan dalam diri May terasa begitu ‘nyata’, tidak ada perubahan drastis. Semuanya dibangun secara perlahan. Ini menjadi simbol bahwa trauma tidak bisa serta merta sembuh.
Lukman Sardi sebagai Bapak juga berakting dengan apik. Ia mampu hadir sebagai seorang Bapak yang tenang dan menjaga anaknya di rumah dan berubah menjadi beringas di ring tinju, melampiaskan semua rasa bersalahnya. Verdi Solaiman juga berhasil mencairkan suasana di tengah latar kelam tokoh utama. Komedi-komedinya mampu membuat penonton tidak berkesedihan terus menerus.
Ending
Sebuah film tentu harus memiliki akhir, walaupun tidak semua korban trauma memiliki akhir seperti May, setidaknya film ini ingin menunjukkan bagaimana seorang korban pelecehan seksual menjalani hidupnya.
Jadi, sebelum melontarkan pernyataan yang menyalahkan korban, entah karena pakaiannya, atau karena karena yang lain, pernahkah terpikir kehidupan mereka bahkan tanpa ikut menyalahkannya? Sekarang pilihan ada di kalian, ingin menjadi Bapak May, Kurir, Pesulap, atau yang lain.
Leave a Reply