“Tunggu, Pris,” kugenggam tangannya erat sebelum dia menjauh.
“Lepaskan,” dia mencoba melepaskan genggamanku, namun genggamanku lebih kuat.
Kubalik badannya, kami kembali berhadapan, “Apa salahku?” tanyaku sambil menatap lekat matanya.
Prisca menjauhkan pandangan, ia tidak sanggup menerima serangan mataku, “Tidak ada,” jawabnya sambil berpaling.
“Jadi kenapa harus begini?” aku melontarkan lagi pertanyaan, “KENAPA?” suaraku nyaring, tapi hujan melenyapkannya. Prisca masih berpaling, tangannya mengepal kuat.
“Dulu saja kau tidak memberitahuku kenapa menjadi begitu,” kali ini Prisca menatap, bahkan menusuk, pertahananku tidak siap, mataku kalah, “saat kutanya alasannya dulu, kau bilang tidak perlu alasan untuk jatuh cinta,” dia berjalan mendekatiku, aku berjalan mundur menjauhinya, “dan sekarang,” aku tidak bisa mundur lagi, kolam di taman ini menghentikan langkahku, jarak aku dan Prisca tidak lebih dari jarak hati kami, setidaknya sesaat sebelum ini, “sekarang kau meminta alasanku,” dia menunjukku, “alasanku adalah,” dia mendorongku ke kolam, aku terjatuh, “tidak perlu alasan untuk berhenti mencinta, Tuhan sudah menakdirkan kita begini,” dia meninggalkanku yang tidak bisa berenang sendirian di tengah kolam taman ditemani hujan.
Tinggi kolam sekitar tiga meter, bentuk bundarnya menyusahkanku berpegangan, ditambah derasnya hujan, aku pasrah kali ini, “Kalau kematian menghampiriku,tolong jaga Prisca, Tuhan,” kataku dalam hati. Setelah itu, aku hanya berdiam, kubiarkan air mulai memasuki tubuhku, kubiarkan sedikit demi sedikit oksigen di paru-paruku habis. Sampai, semuanya gelap. Gelapnya cuma beberapa saat, tetiba air serasa mendidih, sangat panas, dan ada tangan yang terjulur kepadaku, aku menggapainya, ia menarikku ke atas. Dan akhirnya, aku sampai di atas.
Hujan telah berhenti, hari menjadi sangat panas, aku lihat orang yang menolongku, dia merah, lekas-lekas aku melepas tanganku karena tangannya sangat panas, “Untung aku cepat datang,” katanya.
“Si…”
“Ah, aku lupa memperkenalkan diri,” dia menjulurkan tangannya lagi, “aku tidak punya banyak waktu, aku cuma memberitahu nama yang kalian pahami, aku setan.”
Mataku terbelalak, “A, a, apa kau bilang?” aku tergagap, “Se, se, setan?”
“Ya,” katanya santai, “aku bisa mengabulkan permohonanmu,” dia mendekatiku, “kau ingin Prisca kan?”
“Darimana kau tau?” tanyaku bingung.
“Apa yang aku tidak tau dari semua orang di dunia?” kata setan angkuh, “Jadi, bagaimana kalau kita bekerjasama?”
“Apa yang kudapat?”
“Kau dapat Prisca,” katanya menunjukku, “dan aku,” dia menunjuk dirinya sendiri, “akan mendapatkanmu,” dia menunjukku lagi.
“Aku masih belum paham,”
“Nyawa dibayar nyawa,” kata setan itu, “kau akan mendapatkan Prisca, tapi tepat saat hari pernikahan, aku akan membawamu,” lanjutnya, “bagaimana?”
Aku berpikir sesaat, entah kenapa rasanya tidak ada pilihan lain, “Kau sudah menyelamatkan hidupku,” tetiba kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulutku, kugapai juluran tangannya, kami bersalaman, “aku terima.”