Aku sudah kembali di ujung jalan yang sama, takdir sudah kugenggam, kali ini pegangan paling erat yang bisa tanganku lakukan.
Kakiku baru mulai melangkah, jalanan tiba-tiba memudar, ketika kutatap lurus ke depan, diapun berbalik, dia juga memudar.
Takdir pecah, serpihannya bertemu jalan yang makin pudar. Bukan karena genggaman yang terlalu erat, tapi memang tangan sudah tidak dalam mode menggenggam, dia berubah menjadi kepalan.
Detik-detik pudaran terakhir jalan dan dia terekam jelas di otakku. Memoriku tidak pernah menggambar momen sedetil dan sejelas ini sebelumnya.
Tidak, kakiku masih disini, tanganku juga, jiwaku pun masih setia di ragaku. Hanya saja, otakku memberikan perintah untuk lebih diam daripada patung.
Sekarang, semuanya hanya pasir, di depan benar-benar kosong. Sesekali kulihat senyumnya saat terakhir dia menoleh kala memudar, tapi kutau itupun fatamorgana, nyatanya tidak ada apa-apa, bahkan jalan pun ternyata palsu.
Pondasi tangga sudah hancur, tembok pun dari sini sudah tidak keliatan, dan takdir, sudah lebih halus dari pasir-pasir. Bahkan ketika digapai tidak ada yang tertinggal barang setitik di sela-sela tangan.
Jadi, inilah akhir yang memang berakhir.
Selamat tinggal (duaribu)enambelas, terima kasih sudah memecahkan takdirku.
Leave a Reply