Sila Pertama
Konflik pertama terjadi ketika Maryam (Tri Yudiman) meninggal. Ketiga anaknya Fara (Prisia Nasution), Aryo (Yoga Pratama), dan Adi (Baskara Mahendra) berseteru mengenai tata cara pemakaman sang Ibu. Masalah ini muncul karena Fara beragama Islam sedangkan kedua adiknya, Aryo dan Adi adalah Kristen. Perlu pikiran terbuka untuk ‘menerima’ penyelesaian konflik dari sila pertama ini. Masalah keyakinan adalah urusan pribadi antara tiap orang dan Tuhan, kita tidak berhak menghakimi hal tersebut. Mungkin ada beberapa yang tidak setuju dengan pemakaman sang Ibu, tapi itulah yang terjadi. Seperti kata Fara, “Biarlah dosa kami yang tanggung,” karena seandainya menurut Tuhan itu salah, biarlah ia yang menyelesaikan dengan Tuhan.
Sila Kedua
Adi adalah anak termuda di keluarga ini. Ia adalah seorang anak SMA dan menjadi satu dari beberapa korban perundungan siswa lain. Selama ini Adi selalu diam, sama seperti temannya di tempat biasa ia bermain musik. Konflik yang berkaitan dengan sila kedua ini terjadi ketika Adi dihadapkan pada pilihan diam atau menegakkan keadilan. Situasi bertambah rumit ketika Dega, salah satu anak SMA yang melakukan perundungan padanya, ikut terlibat. ‘Adil’ dan ‘beradab’ dilukiskan dengan apik pada adegan-adegan di bagian ini.
Sila Ketiga
Belakangan ini isu SARA menjadi salah satu kayu bakar ‘kehangatan’ bumi pertiwi. Bukan hanya masalah agama, tapi suku dan ras juga turut andil. Fara adalah pelatih salah satu klub renang. Suatu ketika ia diminta memilih salah satu atlitnya untuk diikutkan dalah Asian Games. Semua menjadi sulit ketika ketua klub meminta untuk memilih ‘orang kita’ sebagai wakil untuk Asian Games. Bagian ini tidak hanya menjabarkan tentang persatuan, potret penguasa yang menjadi sampah masyarakat juga dibeberkan di sini.
Sila Keempat
Aryo dipecat oleh temannya secara tiba-tiba. Tidak ada diskusi sama sekali. Keputusan sepihak tentu bertentangan dengan sila keempat, sekalipun yang mengambil keputusan adalah seorang pimpinan. Masalah utama bukan masalah pemecatan, tapi warisan. Adi dan Aryo berseteru ketika notaris Maryam mendatangi rumah mereka untuk membicarakan masalah warisan sang ibu. ‘Musyawarah’ di sini digambarkan ketika Fara dan Aryo harus menenangkan Adi agar mau menandatangani tentang pembagian warisan.
Sila Kelima
Bi Ijah (Dewi Parkis) adalah pembantu keluarga Maryam sedari kecil. Ia menjadi gambaran dari rakyat kecil di Indonesia. Masalah mengenai keadilan diperlihatkan ketika keluarga dari beliau harus berhadapan dengan pengadilan. Penyelesaiannya tidak secara gamblang mengatakan ‘tumpul ke atas tajam ke bawah’ itu masih ada atau tidak, biarlah penonton yang mencerna sendiri kondisi yang sekarang sedang terjadi di sekitar.
Secara keseluruhan, film ini sukses ‘meneriaki’ kita makna dari Pancasila yang terkadang kita lupa. Sayangnya kehadiran notaris terkait warisan Maryam merusak suasana yang sudah dibangun dari awal film. Tapi sekali lagi, Lima menurutku cocok jadi film wajib tiap tahun agar warga Indonesia tau pentingnya Pancasila.