Melihat Badai di Parasite

“Nonton Parasite kuy!”


Beberapa kali sempat mendengar tentang film ini tapi tidak benar-benar penasaran. Salah satu hal yang membuatku tidak terlalu tertarik adalah tempat tayangnya yang berada di CGV. Di dekat tempat tinggalku hanya ada XXI, jadi perlu biaya lebih untuk ke CGV ataupun Cinemaxx. Tapi, ajakan di atas membuatku tergerak untuk menonton film ini. Dan ternyata…. filmnya sangat wajib ditonton!

Membaca “parasite”, aku kira film ini akan berisi berbagai monster seperti salah satu anime berjudul mirip, Parasyte. Namun ternyata film ini lebih mengerikan daripada monster. Tidak ada hal-hal menyeramkan – setidaknya di awal sampai pertengahan film – tapi banyak hal gila yang terjadi di film ini.

Parasite berfokus pada keluarga Kim Ki-taek (Song Kang-ho) yang digambarkan sangat miskin. Hidup di apartemen bawah tanah yang tidak layak huni dan harus membesarkan dua anaknya yang sudah beranjak dewasa.

Awal film menggambarkan betapa melaratnya hidup keluarga ini. Mulai dari pemandangan pemabuk yang harus mereka lihat tiap hari dari jendela rumah, sampai harus berdiam di atas kloset hanya untuk mendapatkan WiFi. Kalau kalian merasa miskin, cobalah tengok kemiskinan keluarga ini.

Keadaan mulai berubah ketika teman Ki-woo, anak laki-laki dari Kim, menawarkan pekerjaan sebagai guru les. Bukan guru les biasa, tapi guru les dari anak keluarga kaya raya. Makna parasit pada film ini mulai diperkenalkan pelan-pelan setelah Ki-woo menjadi guru les.

Sebagai pemenang di festival yang menjadi premiere Marlina, Cannes Film Festival, Parasite tampil ‘gila’. Di awal sampai pertengahan film kita diajak menelusuri keseriusan keluarga Kim dalam ‘bekerja’. Bila Raihaanun mampu memerankan May dengan apik walau tanpa banyak dialog, di sini keluarga Kim mampu terlihat begitu meyakinkan dengan kerja keras mereka. Di sisi lain, ada sisi orang kaya yang berbeda di sini. Mereka kaya, tapi sederhana. Tidak angkuh dan lugu.

Film ini layaknya menerjang badai. Penonton diajak bersenang-senang sampai pertengahan film. Semua terlihat ‘ceria’ dan menghibur. Di pertengahan, badai mulai hadir dari kejauhan. Boong Joon-ho bukannya mengajak penonton menghindari badai namun menyuruh kita menikmatinya.

Ketika badai sedang dalam puncak-puncaknya, penonton tetap harus terpaku dan menikmati berbagai kejutan-kejutan yang dihadirkan. Suara-suara para miskin digaungkan di sini. Boong Joon-ho meneriakkan hal tersebut di tengah badai.

Saat badai sudah reda. Film ini membiarkan semua kerusakan seperti adanya. Realistis. Persembahan apik sebagai pemenang Palme d’Or. Wajib untuk ditonton.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *