Tidak terhitung banyaknya tangga yang kubuat untuk ke atas. Tapi, pondasi yang besoknya rusak dengan rapi di tempat aku memulai lebih banyak lagi.
Kenapa?
Tiap kali kukirim pertanyaan tentang hal itu, angin selalu menantang. Pertanyaan itu tidak pernah lewat. Sekadar membelai pun tidak. Tembok tetap saja kokoh, angkuh.
Hari itu, angin kembali menentangku, tepat ketika tangga hampir setengah jadi. Aku ambruk, kali ini tangga rusak dengan wajar, tidak rapi seperti ribuan kali percobaan sebelumnya.
Angin tidak hanya merusak, dia membawa kabar, tepatnya mengusir.
Jawaban dari pertanyaan yang selalu ditentang angin tepat mendarat di mukaku, ternyata itu yang menghalangi pondasi runtuh mengenai muka.
Sejak itu, aku berhenti membuat tangga. Sesekali tetap kupandang tembok besar di depan, beberapa kali tangan bergerak menggapai pondasi namun kaki selalu berontak tiap kali pikiran merengek membuat tangga (lagi).
Leave a Reply